DHI Sumut – Praktik rangkap jabatan inisial si Opem yang menjabat rangkap sebagai Sekretaris Desa Hiliduho sekaligus Guru PPPK Paruh Waktu di SMA Negeri 1 Hiliduho, kini menjadi sorotan tajam publik setelah dilaporkan ke Kejaksaan Negeri Gunungsitoli oleh Ketua DPC LSM Pijar Keadilan Demokrasi Kota Gunungsitoli, Pieter ST, S.H. Laporan ini menyoroti dugaan tindak pidana korupsi secara bersama-sama (deelneming) yang menimbulkan pengeluaran keuangan negara secara tidak sah, serta menunjukkan keterlibatan aktif Kepala Desa Hiliduho dan Kepala SMA Negeri 1 Hiliduho dalam memfasilitasi praktik tersebut.
Berdasarkan bukti dokumen resmi, si Opem menjabat sebagai Sekdes sejak 12 Juli 2017 dan menerima gaji dari APBDes, sementara sejak 10 Juli 2023 ia juga tercatat sebagai guru PPPK yang menerima honor dari dana pendidikan. Praktik rangkap jabatan ini berlangsung hingga pelantikan PPPK Paruh Waktu pada 24 Desember 2025, meskipun Petunjuk Kemendagri Nomor: 100.3.3.5/1751/BPD telah menegaskan larangan rangkap jabatan. Menurut Pieter ST, S.H., pengunduran diri Opem dari jabatan Sekdes pada 15 Desember 2025 sama sekali tidak menghapus sifat koruptif tindakan yang telah dilakukan, karena seluruh praktik sebelumnya telah menimbulkan kerugian keuangan negara secara material.
Lebih lanjut, gedung SMA Negeri 1 Hiliduho dan Kantor Desa Hiliduho berada dalam satu wilayah geografis yang sama, sehingga memungkinkan koordinasi langsung antara si Opem, Kepala Desa, dan Kepala Sekolah. Kondisi ini diduga memfasilitasi konspirasi terstruktur yang mengatur penerimaan gaji, honor, dan sertifikasi secara tidak wajar, dengan keterlibatan aktif pihak yang memiliki otoritas di desa maupun sekolah. Praktik ini menimbulkan conflict of interest, pelanggaran UU Desa, dan pengabaian prinsip fiduciary duty dan akuntabilitas publik.
Pieter ST, S.H., menegaskan: “Sekalipun Opem telah mundur sebagai Sekdes, perbuatan koruptif yang dilakukannya tidak serta-merta hilang dan tetap memiliki konsekuensi hukum. Laporan ini menuntut tindakan represif, investigasi menyeluruh, dan audit forensik oleh Kejaksaan Negeri Gunungsitoli terhadap seluruh pengeluaran APBDes dan dana pendidikan. Kepala Desa dan Kepala Sekolah yang membiarkan atau memfasilitasi praktik ini harus bertanggung jawab secara pidana dan administrasi, agar muncul efek jera (deterrent effect) bagi pihak lain yang berniat melakukan praktik serupa.”
Kejaksaan Negeri Gunungsitoli kini diharapkan menindaklanjuti laporan ini secara profesional sesuai ketentuan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, memanggil para TERLAPOR, dan memastikan pengawasan keuangan negara berjalan dengan transparan dan akuntabel, sekaligus menegaskan komitmen negara dalam memerangi korupsi yang terstruktur dan sistematis.
@p_sanjaya
