DHI Sumut - Kurang seminggu setelah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Penetapan Kejaksaan Negeri Gunungsitoli tertanggal 21 November 2025, NAL, Komisioner Bawaslu Kota Gunungsitoli, resmi ditahan oleh Kejaksaan Negeri Gunungsitoli pada hari ini, 4 Desember 2025. Penahanan ini menjadi babak penting dalam penanganan perkara dugaan Pokja Fiktif yang sejak awal menyedot perhatian publik.
NAL sebelumnya telah hadir pada sidang Pengadilan Tipikor Medan pada Rabu, 3 Desember 2025. Namun persidangan terpaksa ditunda karena gedung pengadilan terdampak banjir, sehingga agenda pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan. Meski penundaan tersebut bukan karena ketidakhadiran terdakwa, publik justru menilai kondisi ini semakin memperkuat urgensi percepatan dan transparansi penanganan perkara.
Penahanan terhadap NAL, yang diduga terlibat sebagai aktor penting dalam skandal honorarium dua Pokja Fiktif di lingkungan Bawaslu Gunungsitoli, dipandang sebagai langkah tegas Kejaksaan Negeri Gunungsitoli di bawah kepemimpinan Kajari baru, Dr. Firman Halawa, S.H., M.H. Hanya dalam hitungan hari menjabat, Kajari yang baru bertugas tersebut berani mengambil langkah progresif yang selama ini dinilai publik lamban ditangani.
Tokoh masyarakat Nias, Hadirat ST Gea, mengapresiasi langkah tersebut sebagai sinyal kuat bahwa kejaksaan kini bekerja tanpa kompromi. Ia menegaskan bahwa penahanan NAL menjadi titik balik penting untuk mengungkap keseluruhan aliran dana dan peran pihak-pihak yang disebut menerima honor Pokja Fiktif. Menurutnya, publik terlalu lama menunggu kepastian hukum atas perkara yang selama ini terkesan bergerak maju-mundur.
Respons masyarakat pun menguat. Banyak pihak secara terbuka membandingkan gaya kerja Kajari baru dengan Kajari sebelumnya, Parada Situmorang, S.H., M.H. Meski Parada dikenal sangat agresif pada perkara kecil seperti dugaan pungli di bawah 5 juta rupiah, namun dalam kasus dugaan korupsi Pokja Fiktif sebesar Rp. 35.910.000 justru dinilai tidak menunjukkan perkembangan berarti pada masa jabatannya. Kontras ini semakin mempertegas anggapan publik bahwa era baru di Kejaksaan Negeri Gunungsitoli telah dimulai.
Sebagai Pegiat dan Pengamat Demokrasi Kepulauan Nias, Peter Sanjaya turut menilai langkah cepat Kajari baru sebagai sinyal positif bagi penegakan hukum di daerah. Ia menilai konsistensi dan keberanian dalam menetapkan tersangka serta melakukan penahanan merupakan langkah yang tepat untuk memastikan perkara berjalan objektif. Peter menekankan bahwa potensi intervensi terhadap saksi, yang sebagian besar adalah bawahan NAL, menjadi alasan kuat mengapa penahanan harus dilakukan sejak awal.
Peter juga menyampaikan bahwa ia dalam waktu dekat akan melaporkan NAL ke Bawaslu RI dan DKPP RI. Menurutnya, ketika seorang komisioner berstatus tersangka korupsi, penonaktifan sementara merupakan langkah yang harus ditempuh demi menjaga marwah lembaga, sebagaimana terjadi pada kasus Ketua Bawaslu Mesuji, Deden Cahyono, yang dinonaktifkan setelah ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Kasus Pokja Fiktif Bawaslu Gunungsitoli sendiri mengungkap adanya distribusi honorarium kepada 20 (dua puluh) orang dari berbagai unsur, mulai dari pejabat Pemko Gunungsitoli, anggota TNI/Polri, Panwascam, hingga pegawai internal Bawaslu Gunungsitoli. Seluruh penerima diberi honorarium sebesar Rp. 35.910.000 meski Pokja tersebut tidak pernah bekerja, tidak pernah rapat, dan bahkan sebagian tidak mengetahui nama mereka dicantumkan sebagai anggota Pokja. Fakta ini memperkuat dugaan adanya penyusunan kegiatan fiktif yang sengaja dirancang untuk membebankan pengeluaran negara secara tidak sah.
Dengan penahanan NAL hari ini, publik berharap Kejaksaan Negeri Gunungsitoli dapat mengungkap seluruh fakta secara terang benderang. Masyarakat juga menanti apakah langkah ini akan diikuti penetapan tersangka lainnya, sejalan dengan pola kepemimpinan Kajari baru yang dikenal cepat, tegas, dan tidak ragu menetapkan pihak-pihak yang bertanggung jawab.
@p_sanjaya
