DHI Sumut – Penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa dugaan pungutan liar (pungli) di lingkungan Bawaslu Kota Gunungsitoli masih menjadi sorotan publik, khususnya terkait efektivitas penggunaan anggaran negara pada proses penegakan hukumnya.
Dalam Dakwaan Primair maupun Subsidair Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Gunungsitoli atas nama terdakwa DJZ, disebutkan bahwa jumlah dana yang diduga dinikmati terdakwa sebesar Rp. 3,6 Juta seluruhnya telah disetorkan kembali kepada pihak lain, baik melalui transfer kepada saksi YPB maupun penyerahan tunai kepada saksi NAL di ruang kerjanya.
Fakta tersebut mengindikasikan bahwa terdakwa secara yuridis maupun faktual tidak lagi menikmati kerugian keuangan negara. Namun demikian, negara terus mengalokasikan biaya penegakan hukum yang tidak kecil sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penetapan tersangka dan penahanan DJZ pada 19 Juni 2025, hingga proses persidangan yang masih bergulir di Pengadilan Tipikor pada PN Medan.
Sorotan publik juga mengarah pada pengambilan kebijakan penanganan perkara ini pada masa kepemimpinan Parada Situmorang, S.H., M.H, yang saat itu menjabat Kajari Gunungsitoli dan kini menjabat Asisten Pemulihan Aset pada Kejaksaan Tinggi Kepulauan Bangka Belitung. Meskipun perkara ini berjalan di bawah kewenangan institusi, publik menilai bahwa arah kebijakan penegakan hukum pada saat itu seharusnya menerapkan prinsip proporsionalitas dan efisiensi penggunaan anggaran negara, terlebih nilai dugaan kerugian yang menjadi objek perkara berada di bawah empat juta rupiah dan telah dikembalikan sepenuhnya.
Pemerhati hukum dan akademisi, Martinus Gea, S.E., M.M, menilai bahwa penindakan perkara ini berpotensi menguras lebih banyak APBN/APBD dibanding manfaat yang diperoleh negara. “Penegakan hukum harus memperhatikan asas ultimum remedium dan cost and benefit. Jangan sampai negara justru menanggung kerugian lebih besar untuk membiayai proses hukum perkara yang nilai kerugiannya sudah kembali dan pelakunya bukan merupakan aktor utama dari peristiwa kriminal,” ujar Martinus.
Ia menegaskan pentingnya penerapan principle of equality before the law, apalagi dalam dakwaan telah terungkap adanya pihak-pihak lain yang berperan dalam mekanisme pemotongan honorarium Pokja di internal Bawaslu. “Pemberantasan korupsi harus tuntas. Jika hanya menindak satu pihak sementara aktor lainnya belum tersentuh, maka orientasi penegakan hukum menjadi kabur dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik,” tegasnya.
Rilis ini mendesak Kejaksaan Negeri Gunungsitoli untuk memastikan proses penegakan hukum dilakukan secara jujur, transparan, dan menyeluruh, agar pemberantasan korupsi benar-benar memberikan manfaat bagi negara, bukan sebaliknya menjadi beban tambahan keuangan negara yang bersumber dari pajak rakyat.
@p_sanjaya
