DHI Sumut — Penanganan kasus Dugaan Korupsi Dana Desa yang merugikan negara kurang lebih 1,3 Milyar terkait Dana Desa Miga yang ditangani Kejaksaan Negeri Gunungsitoli terus menjadi sorotan.
Pasalnya kasus yang dilaporkan sejak 9 Juli 2021 itu hingga saat ini tidak mendapat kejelasan malah seakan ditenggelamkan.
“Kami menuntut penegakan hukum yang tidak tebang pilih. Apalagi dugaan korupsi Dana Desa yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat,” tegas salah satu tokoh masyarakat Desa Miga, Syukur Jamin Halawa, Senin (17/11/25).
Dalam notifikasi resminya, Kejaksaan Gunungsitoli menyatakan bahwa laporan tersebut kembali diterima dan ditindaklanjuti sejak 2 Juli 2025. Namun berdasarkan penelusuran informasi, laporan itu sejatinya adalah laporan lama yang kembali dilaporkan karena tidak adanya kepastian proses hukum dan tidak terpenuhinya kewajiban pemberitahuan perkembangan perkara kepada masyarakat selaku pelapor.
meskipun hal ini telah menjadi kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Peraturan Kejaksaan No. 5 Tahun 2020 tentang penanganan laporan dan asas keterbukaan informasi publik. Namun Kondisi ini memicu penilaian publik bahwa proses hukum cenderung stagnan dan minim transparansi.
Saat ini akibat Ketidakjelasan penanganan kasus tersebut mendorong DPC LSM Pijar Keadilan Demokrasi Kota Gunungsitoli melaporkan langsung perkara ini kepada Jaksa Agung Republik Indonesia pada 2 Oktober 2025. Laporan itu juga menyinggung dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Kepala Kejaksaan Negeri Gunungsitoli saat itu, Parada Situmorang, yang dianggap berpotensi melanggar Pasal 421 KUHP dan kewajiban etik kejaksaan atas dugaan pengabaian laporan masyarakat. Publik menilai ada ketidakadilan yang mencolok dalam penegakan hukum.
“Mengapa kasus miliaran rupiah lambat, tetapi kasus jutaan rupiah cepat? Jangan sampai publik menganggap ada keistimewaan dalam hukum,” kritik pemerhati korupsi Irmin Zai.
Kejaksaan Negeri Gunungsitoli menerangkan bahwa mereka telah menyurati Inspektorat Kota Gunungsitoli guna permintaan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Dana Desa Miga TA. 2019 s.d 2020 sebagai bentuk koordinasi sebagaimana diamanatkan dalam Nota Kesepahaman Kemendagri–Kejagung–Polri Tahun 2023.
Namun publik menilai alasan tersebut tidak dapat dijadikan justifikasi berlarutnya penanganan perkara, terlebih indikasi penyimpangan diduga kuat sudah lama teridentifikasi.Dalam konteks penegakan hukum,
sejumlah pihak dengan posisi jabatan strategis dipandang memiliki potensi kuat untuk dimintai pertanggungjawaban pidana. Mantan Kepala Desa, AIT dan SST, diduga berperan besar dalam kebijakan dan kontrol penuh pengelolaan dana desa sehingga berpotensi terjerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor terkait penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara.
Sekretaris Desa DAT dan mantan Sekdes HT berpotensi bertanggung jawab atas dugaan keterlibatan dalam pemalsuan administrasi keuangan dan pertanggungjawaban dokumen yang tidak sesuai ketentuan, sebagaimana diatur UU Tipikor dan UU Administrasi Pemerintahan.
Selain itu, Bendahara Desa EL yang memiliki akses langsung terhadap penerimaan dan penyaluran dana desa berpotensi melanggar Pasal 8 UU Tipikor jika terdapat penyimpangan dalam pengelolaan kas desa atau penggunaan dana yang tidak sesuai peruntukan.
Tim Pelaksana Kegiatan (TPK), yakni BEL, MH, dan HZ, juga dapat dimintai pertanggungjawaban hukum apabila ditemukan ketidaksesuaian antara laporan realisasi fisik dengan kondisi pekerjaan di lapangan, indikasi mark-up harga, kegiatan fiktif, maupun rekayasa dokumen. Keseluruhan peran tersebut dapat mengarah pada pertanggungjawaban pidana bersama dan turut serta melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 55 KUHP.
Ketua DPC LSM Pijar Keadilan Demokrasi Kota Gunungsitoli, Peter Sanjaya, menegaskan bahwa Kejaksaan tidak boleh ragu menindak kasus yang bernilai besar. “Jika Kejari Gunungsitoli telah menunjukkan sikap tegas pada kasus Bawaslu 3,6 juta rup
