Kejari Gunungsitoli Gercep "Dakwa" Kasus Korupsi Dibawah 4 Juta : Penanganan Pungli Bawaslu Gunungsitoli Dinilai Tidak Sejalan Pedoman Jampidsus

 

DHI Sumut – Penanganan perkara dugaan pungutan liar (pungli) di lingkungan Bawaslu Kota Gunungsitoli yang menyeret Desman Jaya Zebua, S.E. sebagai terdakwa, menuai sorotan publik. Meskipun nilai dugaan kerugian negara hanya sebesar Rp. 3,6 Juta Kejaksaan Negeri Gunungsitoli tetap membawa kasus ini hingga persidangan di Pengadilan Tipikor Medan. Langkah ini dinilai tidak seimbang dengan esensi pemberantasan korupsi yang mengedepankan prioritas dan efisiensi dalam pemulihan keuangan negara.

Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, dana tersebut berasal dari pemotongan honorarium anggota Pokja Sekretariat Bawaslu Kota Gunungsitoli dan telah dikembalikan sepenuhnya kepada pihak yang berhak. Namun demikian, Desman Jaya Zebua, S.E, tetap ditahan sejak 19 Juni 2025, memperkuat penilaian bahwa Kejari Gunungsitoli bergerak sangat cepat dalam proses litigasi pada perkara ini.

Perhatian publik semakin meningkat karena seluruh tahapan penanganan perkara berlangsung saat Parada Situmorang, S.H., M.H memimpin Kejaksaan Negeri Gunungsitoli. Parada dinilai mendorong percepatan penyelesaian perkara meskipun nilai kerugian negara relatif kecil, sehingga kebijakannya kini menuai banyak pertanyaan mengenai konsistensi prioritas penegakan hukum.

Sejumlah pemerhati hukum menilai tindakan Kejari Gunungsitoli tidak sejalan dengan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Nomor B-765/F/Fd.1/04/2018 yang mengatur bahwa perkara tipikor dengan nilai kerugian kecil dan bersifat administratif dapat ditangani melalui pendekatan non-litigatif, demi efisiensi pemulihan kerugian negara. Apalagi biaya penegakan hukum mulai dari penyelidikan, penyidikan, penahanan, hingga persidangan berpotensi jauh lebih besar dari uang yang menjadi objek perkara.

Selain itu, fakta dalam dakwaan menunjukkan bahwa sebagian besar aliran dana justru dikendalikan dan dinikmati oleh pihak lain, termasuk saksi yang tidak tersentuh proses hukum. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa terdapat ketidaksetaraan perlakuan dalam penanganan kasus.

Pengamat hukum menduga langkah kriminalisasi atas tindakan administratif dapat terjadi dalam kasus ini, karena tidak terdapat bukti bahwa terdakwa menikmati keuntungan pribadi dari pemotongan honorarium tersebut. Pada saat yang sama, perkara dugaan korupsi dengan nilai jauh lebih besar di wilayah yang sama justru belum menunjukkan perkembangan berarti.

Penegakan hukum seharusnya berjalan proporsional dan berorientasi pada keadilan substantif. Kritik publik saat ini mengarah pada pertanyaan besar: mengapa perkara dengan kerugian negara kecil digeber, sementara perkara besar terkesan jalan di tempat? Kasus ini diharapkan menjadi cerminan bagi Kejari Gunungsitoli dalam menerapkan prinsip konsistensi, profesionalitas, dan efisiensi sesuai pedoman internal Kejaksaan RI.

@p_sanjaya

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال