DHI Sumut - Kejaksaan Negeri Gunungsitoli akhirnya menetapkan Komisioner Bawaslu Kota Gunungsitoli, NAL, sebagai tersangka dalam perkara korupsi honorarium Pokja fiktif di lingkungan Bawaslu Kota Gunungsitoli. Penetapan tersebut menandai langkah progresif Kajari Gunungsitoli yang baru, Dr. Firman Halawa, S.H., M.H., yang hanya dalam kurun waktu 16 hari sejak resmi menjabat pada 5 November 2025 telah mengambil tindakan hukum tegas terhadap pihak yang selama ini diduga sebagai aktor intelektual dalam kasus yang merugikan keuangan negara.
Sebelumnya, pada masa kepemimpinan Kajari lama Parada Situmorang, S.H., M.H., yang kini menduduki jabatan Asisten Pemulihan Aset Kejati Bangka Belitung, proses penetapan tersangka terhadap NAL dinilai penuh keragu-raguan, tidak profesional, dan sarat keberpihakan. Sejak dimulainya penyidikan pada 6 Maret 2024 hingga 28 Oktober 2025, Parada Situmorang tak kunjung mengambil keputusan hukum yang semestinya terhadap terduga tokoh sentral kasus tersebut. Perbandingan mencolok antara dua kepemimpinan ini menjadi indikator nyata keberanian dan integritas Kajari baru dalam menegakkan prinsip equality before the law.
Tokoh masyarakat Nias dan mantan Pimpinan DPRD Nias, Hadirat ST Gea, memberikan apresiasi penuh terhadap langkah hukum Kajari baru. Ia menegaskan bahwa baik dalam Dakwaan Primair maupun Subsidair JPU pada perkara sebelumnya, sangat jelas terdapat indikasi serius keterlibatan pihak lain yang memiliki leading role dalam skema pungutan liar. Dua Pokja fiktif tersebut adalah Pokja Pengawasan Kampanye dan APK serta Pokja Pengawasan Netralitas ASN, TNI/Polri Tahun 2023, yang menyalurkan honorarium fiktif senilai Rp. 35.910.000,- kepada 20 penerima, terdiri dari unsur Pemko Gunungsitoli 3 (tiga) orang, Polri 2 (dua) orang, TNI 1 (satu) orang, Panwascam se-Kota Gunungsitoli 6 (enam) orang, dan internal Bawaslu Kota Gunungsitoli 8 (delapan) orang. Menurutnya, kasus ini merupakan skandal korupsi berjamaah, sehingga seluruh pihak yang turut menikmati aliran dana wajib dimintai pertanggungjawaban pidana.
Hadirat ST Gea juga mengingatkan rekam jejak Dr. Firman Halawa, S.H., M.H., dalam pemberantasan korupsi saat masih menjabat sebagai Kajari Bengkulu Tengah. Kala itu, melalui Kasi Pidsus Rianto Ade Putra, S.H., M.H., ia tanpa ragu menahan EF, eks Korsek Bawaslu Bengkulu Tengah, terkait fraud anggaran perjalanan dinas, sewa gedung, dan pemeliharaan kantor. Keputusan tersebut bahkan membuka peluang penetapan lebih dari satu tersangka tambahan, membuktikan keberanian dan konsistensi Kajari baru dalam menindak keras pelaku korupsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keputusan progresif Kajari Gunungsitoli dinilai selaras dengan prinsip zero tolerance terhadap praktik korupsi. Menurut Hadirat, bila negara melalui eks Kajari begitu represif dalam memproses perkara pungli bernilai di bawah 5 juta rupiah, maka perkara yang menyebabkan kerugian negara hampir 36 juta rupiah harus diperlakukan jauh lebih serius dan transparan.
Di lain pihak, Pegiat sekaligus Pengamat Demokrasi Gunungsitoli Peter Sanjaya menilai bahwa langkah penahanan terhadap tersangka sangat urgen dilakukan. Hal ini didasarkan pada posisi jabatan tersangka yang memiliki otoritas terhadap para staf sekretriat Bawaslu yang menjadi saksi pemberat, sehingga terdapat risiko intimidasi maupun penghilangan alat bukti baru. Ia menegaskan dirinya akan segera melaporkan status tersangka tersebut kepada Bawaslu RI agar pimpinan dapat mengambil keputusan penonaktifan internal demi menjaga wibawa lembaga dan mencegah benturan kepentingan selama proses penyidikan masih berjalan.
Peter Sanjaya juga akan mengajukan pengaduan ke DKPP RI, karena penyelenggara pemilu berstatus tersangka korupsi telah diduga keras melanggar kode etik berat mengenai integritas dan profesionalitas. Ia merujuk pada preseden penonaktifan Ketua Bawaslu Mesuji, Deden Cahyono, pada Oktober 2025, dimana Bawaslu RI menjatuhkan tindakan nonaktif setelah penetapan tersangka oleh Kejaksaan.
Seluruh langkah hukum ini, menurut kedua narasumber, menjadi momen penting pemulihan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum dan lembaga pengawas pemilu. “Kasus ini harus dibuat terang-benderang,” tegas Hadirat ST Gea. “Keadilan tidak boleh lagi tajam ke bawah dan tumpul ke atas.”
@p_sanjaya
